Jumat, 06 Juli 2012

Resensi Novel Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah

Judul                  : Kau, Aku dan Sepucuk Angpau Merah
Penulis               : Tere Liye
Jumlah Halaman : 512 halaman
Tahun Terbit       : Januari, 2012


Novel ini bercerita tentang kehidupan Borno yang tinggal di tepi sungai kapuas. Borno kecil dikenal sebagai anak yang kritis, sampai-sampai ia rela bertanya ke sana kemari untuk mendapatkan jawaban. Hanya pak Tua lah yang mampu menjawab keingintahuan Borno. karena itulah ia sangat akrab dengan Pak Tua.
Ayah Borno adalah seorang pengemudi sepit. saat usia Borno menginjak 12 tahun, ayahnya terjatuh dari perahu saat melaut dan tersengat ubur-ubur, sehingga ia kehilangan nyawanya saat di rawat di ruang gawat darurat. sebelum ayahnya meninggal, beliau mendonorkan jantungnya untuk seseorang yang menderita gagal jantung dan telah lama mencari donor jantung. Borno tidak terima dengan apa yang dilakukan oleh ayahnya yang mendonorkan jantungnya.

"Bapak belum mati!" aku berteriak marah.
"Bapak belum mati. Kenapa dadanya dibelah!" Aku berusaha menyibakkan tangan ibu.

Setelah lulus SMA, ia mulai sibuk mencari pekerjaan. Ia dikenal tetangga-tetangganya sebagai orang yang sering berganti-ganti pekerjaan. Mulai dari bekerja di pabrik karet yang karena bau yang dihasilkan dari olahan karet ia dibenci olah tetangga-tetangganya, lalu bekerja di dermaga feri sebagai pemeriksa karcis yang kemudian mengakibatkan ia dibenci oleh semua pengemudi sepit yang ada di tepian sungai Kapuas. padahal untuk berangkat ke dermaga feri ia harus menyebrang dengan menggunakan sepit untuk sampai ke sana. Jadilah Borno lewat jalan memutar dengan biaya yang lebih mahal. Sehingga akhirnya Borno berhenti dari pekerjaannya. Kemudian Borno diberikan rekomendasi untuk bekerja di sarang burung walet, tetapi ia menolaknya karena ia ia jeri dengan burung. Lalu ia bekerja di SPBU apung di tepian Kapuas, lalu bekerja serabutan, hingga akhirnya ia menjadi pengemudi sepit.
Ini berawal dari pembicaraan pak tua dan ibunya agar Borno menjadi pengemudi sepit. Awalnya Borno tidak mau menjadi pengemudi sepit karena ia teringat dengan wasiat yang diberikan oleh ayahnya.

 "Kau lihat sendiri, Borno. Beginilah hidup nelayan. Kau sudah merasakannya seharian. Kerja keras, hasil seadanya. Jangan pernah jadi nelayan. Jangan pernah jadi nelayan seperti bapakmu. Juga jangan pernah menjadi pengemudi sepit, Borno. Kakek kau dulu punya sepuluh perahu, kaya raya, tapi lihatlah, dia meninggal dengan mewariskan utang. Jangan pernah jadi pengemudi sepit."

Setelah dua minggun berlalu Borno akhirnya mau menjadi pengemudi sepit. Menjadi pengemudi sepit tak semudah yang ia bayangkan. Ia memulainya dengan membaca buku sakti bagi pemula yang diberikan oleh Pak Tua, mendapatkan ospek dari Bang Togar yang berkedudukan sebagai ketua PPSKT untuk membersihkan kakus, mengecat kakus, mengecat perahu Bang Togar, menyikat perahunya, dan memperbaiki motor tempelnya. Akhirnya di hari kelulusannya ia bertemu dengan gadis yang akan menjadi masa depannya kelak yang meninggalkan sepucuk amplop merah di sepit Borno. Ia juga mendapatkan kejutan berupa sebuah sepit baru dari hasil sumbangan warga dan penumpang. 

Mulai dari sinilah kisah cinta itu dimulai. Sejak saat pertemuan itu ia sering menunggu-nunggu gadis itu untuk melihat parasnya yang sendu menawan. Bahkan  ia sengaja mendapatkan antrean sepit nomor tiga belas agar bisa menyeberangkan gadis itu dengan sepit miliknya. ia harus mencoba beberapa kali agar ia mendapat antrean yang tepat. setelah berkali-kali bertemu di sepit, Borno tak jua tau nama gadis itu. pada suatu ketika ia mencoba bercanda dengannya dengannya dengan menertawakan orang-orang yang diberi nama dengan nama bulan, dana alamak ternyata gadis itu bernama Mei, Borno hanya ternganga saat mengetahui hal tersebut. 

Setelah ia tahu nama gadis itu, mereka sudah semakin dekat. Borno bahkan mengajari Mei untuk mengemudikan sepit. Sebelum ia sempat mengajari Mei mengemudikan sepit, ternyata ia harus pulang ke Surabaya, kampung halamannya. Setelah beberapa tahun kemudia ia dan Pak Tua berangkat ke Surabaya untuk melakukan pengobatan alternatif, di klinik itulah akhirnya tanpa sengaja ia bertemu kembali dengan Mei. di Surabaya, ia pertama kali bertemu dengan ayah Mei. ia diperingatkan agar menjauhi Mei.

"Aku tidak suka kau ada di sini"
"Kau tidak seharusnya mengantarkan Mei pulang."
"Kau hanya akan membawa pengaruh buruk bagi Mei."

Borno mempunyai seorang sahabat yang bernama Andi. Ia selalu menjadi tempat keluh kesah Borno, dan teman bermain gitar serta teman di bengkel. Andi inilah yang selalu menggoda Borno dengan si gadis yang sendu menawan. 
Suatu ketika Mei tiba-tiba kembali ke Kapuas. Mulialah cerita terburai satu persatu, mulai dari Mei yang tiba-tiba tidak datang saat akan diajari mengemudikan sepit oleh Borno, pertemuan dengan dokter Sarah yang ternyata adalah ayah dari penerima donor jantung ayah Borno, Mei yang menghindari Borno, sepit Borno yang dijual untuk membeli bengkel, Borno dan Mei berbaikan lagi, pertemuan dengan ayah Mei untu yang kedua kali, Mei yang tiba-tiba saja meminta untuk tidak bertemu lagi, perlombaan sepit, kepergian Mei ke Surabaya. sebelum Mei pergi ke Surabaya Mei mengucapkan kata-kata perpisahan yang terus di pegang oleh Borno.

"Maafkan aku abang, Mungkin ini lebih baik bagi kita. Biarkan aku pergi hingga semuanya menjadi lebih jelas. Biarkan waktu yang membuatnya lebih terang. "
"Aku tidak tahu kapan persisnya. hingga penjelasan itu tiba, berjanjilah abang akan mengurus bengkel itu. Aku juga akan jadi guru yang baik. Berjanjilah abang juga akan memulai kesempatan baru, bertemu dengan gadis baik lain misalnya. Abang berhak mendapatkan yang lebih baik, bukan seseorang yang dibebani dengan masa lalu."
"Maafkan aku abang. kita hanya akan saling menyakiti jika terus bertemu. Aku sungguh tak mau membuat abang sedih. Berjanjilah, Abang, hingga hari itu tiba, baik atau buruk akhirnya, sesuai atau tidak sesuai harapan, Abang Borno akan terus melanjutkan hari-hari, terus menjadi bujang dengan hati palng lurus di sepanjang tepian Kapuas. Aku harus pergi abang, selamat tinggal."

Akhirnya jawaban itu tiba. jawaban itu berada di amplop merah yang dulu ditinggalkan oleh Mei di sepit yang ternyata adalah sepucuk surat tentang permohonan maaf yang diberikan Mei kepada Borno.
 
Novel ini diceritakan dengan sangat apik oleh Tere Liye, dengan bahasa yang ringan sehingga kita tidak bosan membacanya walaupun novel ini bisa dibilang tebal. inilah ciri khas dari Tere Liye, novel-novelnya selalu diceritakan dengan bahasa yang ringan dengan banyak pesan moral dan pengetahuan di dalamnya. Novel ini sangat direkomendasikan untuk dibaca untuk semua kalangan. Selamat Membaca!










0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.